Asa

Kamu datang, dan cuma duduk diam-diam saja atas padang tempat bermain. Duduk di atas rumput, tanpa apa alas itu kadang-kadang rasanya lain, kan? *senyum* Rasa tanah. Rasa bumi. Rasa alami. Jangan fikir apa, cuma duduk sambil senyum tenung pandang apa beda? Pohon besar yang masih sama; hanya tinggal makin tunduk makin rebah. Hanya tunggu masa.

Hey, kita juga begitu. Tunggu tunduk, tunggu rebah. Antara sadar atau tidak yang jadi penentu.

Dalam diam itu, kamu cuba pandang jauh atas langit paling tinggi. Ada garis awan yang jadi penghalang, tapi ia-nya melengkapi. Senyum sinis bisa ukir dalam ucap, yang hati kamu punya rasa seluas langit, cuma diri kamu sahaja yang masih hanyut sisi pandang. Kaki kamu yang masih terpasak di bumi.

Tunduk.

Untuk apa mahu tunduk dan tangis? Menyesal atas dosa lampau? *gelak* Manusia bego. Itu sekedar menambah gigit kaki kamu untuk terus melangkah. Luaskan hati, seperti langit yang kamu pandang tadi. Indah, bukan? Dalam diam begini. Ah, asyik. Kadang hati hadir akan bisik halus, suara-suara lampau lepas mula. Gelak masih jadi mimpi. Tak apa, teruskan. Kemudian ambil masa kamu, dan pandangkan rumput di padang. Ada yang pekat warna, ada yang pudar warna. 

Kamu, bagian yang mana?

Ada yang pekat warna, ada yang pudar warna. 

Kalau kamu bagian yang pekat warna, maka terus aja kamu angkuh menongkah arus. Itu adalah tempat selayaknya untuk kamu. Teruskan semua asa kamu. Itu selayaknya untuk kamu. Jangan pernah sia apa yang punya. Percuma. Tapi kalau kamu bagian yang pudar, nah. Bagaimana? Kerja keras. Sempit mana ianya cengkam, coba lolos. Usaha untuk terus hidup. Capai sisa tanah yang lembap, dan kuasa apa yang kamu mampu. Selesai semua, kamu juga akan kembali pekat. Saat selesai semua, cari bagian yang pekat tadi. Selayaknya kamu damping sama hebat, damping sama angkuh. Pesan cuma di akhir nanti, kamu masih berkongsi cerah dan hangat cahya suria yang sama.

Begitu, kan?

-AsaSiaga-